Senin, 12 Juli 2010

Pilihan

“Mbak Farah!” Panggil seorang anak kecil sambil berlari ke arahku.
”Eh, Doni. Mau ke sekolah, ya? Kok seragamnya nggak dipake?” tanyaku heran. Biasanya jam segini anak itu sudah berangkat ke sekolahnya.
”Nggak, Mbak. Kata Ibu, Doni nggak usah sekolah lagi,” jawabnya dengan wajah muram.
”Lho, kenapa?” tanyaku lagi.
”Soalnya Ibu nggak punya uang lagi untuk bayar sekolah Doni. Pak Guru bilang, kalo hari ini Doni nggak bayar SPP, Doni nggak boleh masuk sekolah.”
”Ya udah, sekarang Doni ganti baju dulu, pake seragamnya. Biar Mbak antar ke sekolah. Nanti Mbak ngomong sama Pak Guru, jadi Doni boleh masuk sekolah lagi,” kataku tanpa pikir panjang.
Ya, membantu orang yang membutuhkan tak perlu pikir panjang. Insya Allah uang cash dalam dompetku cukup untuk membayar SPP sekolahnya.
”Yang bener, Mbak?” Ia berlari setelah melihat anggukan kepalaku.
”Udah siap? Yuk, naik!” Ajakku sambil membukakan pintu Escudo kesayanganku.
Ya Allah, kasihan sekali anak ini. Ibunya seorang buruh cuci. Penghasilan yang diperoleh, hanya cukup untuk makan, itu pun pas-pasan. Bahkan terkadang kurang. Ayahnya pergi entah ke mana, setelah membawa seluruh tabungan yang disiapkan ibunya untuk sekolah Doni. Meskipun begitu, Doni terlihat senang saat menceritakan ini padaku sepulang belajar mengaji di masjid. Ketika kutanya mengapa, jawabannya membuatku tercengang, soalnya kalo Bapak pergi, Doni nggak dipukulin lagi!
***
”Pakaiannya udah dimasukin, Sayang?” tanya Bunda sambil memindahkan beberapa bahan makanan ke meja di sebelahku.
”Udah, Bunda. Tinggal dimasukin ke mobil. Oh iya, buku-buku pelajarannya belum,” jawabku, lalu berlari ke kamar dan mengambil beberapa buku pelajaran SD yang kubeli sepulang kuliah kemarin.
Hari ini kami akan membagikan bahan makanan dan pakaian kepada warga desa sebelah yang membutuhkan. Kegiatan ini rutin kami lakukan. Aku bersyukur sekali, memiliki orang tua yang suka berbagi rezeki kepada orang yang kekurangan. Tidak seperti calon-calon walikota itu, yang bagi-bagi sembako hanya saat kampanye.
”Udah siap semua?” tanya ayah sambil mengangkat kotak-kotak berisi pakaian ke dalam mobil. ”Nggak ada yang kelupaan?” lanjutnya.
”Udah, Yah. Insya Allah udah semua,” jawabku sambil membantunya.
Ya Allah, semoga barang-barang ini bermanfaat dan menjadi kebaikan bagi mereka, doaku dalam hati.
***
Alhamdulillah, akhirnya selesai juga tugas kuliah yang kukerjakan sejak sore tadi. Kulirik jam dinding, baru jam delapan. Tumben, biasanya sampai larut malam. Yah, aku memang sulit sekali mengubah cara belajarku yang SKS ini.
”Farah...” panggil ayah dari luar kamar.
”Ya, Yah,” jawabku sambil berjalan ke luar.
”Sini, Sayang. Ayah mau ngomong sesuatu.”
Kuhempaskan tubuh di sebelah ayah. Tangan ayah yang kukuh membelai lembut rambutku. Aku menikmati saat-saat seperti ini, saat aku, Ayah, dan Bunda berkumpul. Biasanya kami bercerita tentang pengalaman hari ini, sambil bergurau melepas kepenatan.
”Ayah mau ngomong apa sih, kok kayaknya serius banget?” tanyaku heran.
”Ayah yakin, Bunda dan Farah pasti udah ngerti tentang syari’at Islam dengan baik. Makanya Ayah mau diskusi sama Bunda dan Farah. Ini soal Bu Odah, janda di kampung sebelah.”
Ayah menghentikan penjelasannya sejenak.
”Bu Odah ibunya Doni? Emang Bu Odah kenapa, Yah?” selaku.
”Mm, Ayah bermaksud membantu mereka.”
Jawaban Ayah membuat keningku dan Bunda berkerut.
”Maksud Ayah?” tanyaku dan Bunda hampir bersamaan.
”Iyaa... Ayah bermaksud membantu mereka... dengan menikahi Bu Odah,” Ayah mengakhiri penjelasannya.
”Maksud Ayah? Ayah bercanda, ya?” tanya Bunda tak percaya.
“Iya, Ayah ngaco ah. Ha ha ha, lucu banget deh, Yah.” Aku juga tak percaya.
“Ayah serius, Bunda, Farah. Bunda dan Farah tau kan kondisi mereka? Bu Odah nyaris tidak berpenghasilan. Mereka butuh bantuan,” jawab Ayah.
”Tapi kan nggak harus dengan cara gini, Yah.” Aku mencoba menahan sesak yang tiba-tiba terasa. Kenapa jadi begini?
”Apa yang selama ini kita lakukan bukan membantu mereka namanya?” Mata Bunda sudah berkaca-kaca.
”Bunda, mereka bukan cuma butuh bantuan materi. Banyak pertimbangan lain yang...”
”Sudah, Bunda nggak mau dengar alasan Ayah lagi,” potong Bunda, lalu berjalan ke kamar dan membanting pintu.
”Ayah, pokoknya Farah nggak setuju Ayah nikah lagi sama Bu Odah, atau sama siapa pun. Titik!” kataku sambil berjalan menuju kamar dan meninggalkan Ayah sendirian.
 Apa sih kurangnya Bunda? Apa kurangnya keluarga ini, sampe ayah mau nikah lagi? Ya Allah, Farah bukan mau menentang syari’at-Mu. Tapi Farah nggak pernah membayangkan ini terjadi pada Farah, pada Bunda. Farah nggak mau melihat luka di wajah Bunda....
***
Sejak kejadian malam itu, ayah tak pernah membahas masalah ini lagi. Bahkan aku dan Bunda tidak pernah bicara lagi pada Ayah. Beberapa malam ini Ayah tidur di sofa, karena Bunda selalu mengunci pintu kamar sebelum Ayah masuk. Bukan sekali Ayah meminta maaf dan berniat menjelaskan lagi semuanya, tapi Bunda tak pernah mau mendengar. Bunda bilang, beliau akan memaafkan jika Ayah berjanji tidak akan berpikir untuk menikah lagi.
Baru kali ini aku melihat Ayah dan Bunda bertengkar. Selama ini keluarga kami nyaris tak pernah bermasalah. Dan ini membuatku sangat terpukul. Apa yang harus kulakukan untuk memperbaiki semuanya?
”Bunda, Ayah mau bicara.”
Bunda yang berjalan menuju kamar menghentikan langkahnya.
”Ayah sudah berpikir. Ayah mengurungkan niat untuk menikahi Bu Odah.”
”Ayah serius?” Bunda meyakinkan.
”Ya,” jawab Ayah sambil tersenyum.
Alhamdulillah, ucapku penuh syukur.
***
Hari ini aku pulang lebih cepat. Dosen yang seharusnya mengajar, sedang ke luar kota. Sebelum ke rumah, kuputuskan untuk membeli roti bakar kesukaan Bunda. Bunda pasti senang sekali.
Kuparkir mobil di pinggir jalan, lalu segera turun dan memesan roti bakar spesial. Setelah pesanan selesai dan membayar, aku kembali ke mobil. Namun keramaian di seberang jalan mengusik pandanganku. Rasa penasaranku pun muncul.
Ternyata keramaian bersumber dari sebuah rumah di lorong seberang jalan. Lho, itu kan rumah Doni. Otakku segera memerintahkan kaki untuk melangkah mendekat.
Di rumahnya, Doni menangis terisak-isak. Beberapa tetangga berusaha menenangkan. Sudut mataku menangkap bayangan Ayah dan Bunda. Langkah kakiku segera mendekat ke arah mereka.
”Apa yang terjadi, Yah?” tanyaku pada Ayah. Bunda terisak di bahunya.
“Bu Odah bunuh diri,” jawab ayah singkat, namun membuatku terpana. ”Bu Odah tidak sanggup menghadapi semuanya sendirian, Sayang,” lanjut ayah.
Ya Allah, kenapa aku tak pernah memikirkan ini sebelumnya? Apa aku terlalu egois? Ya Allah, apa aku turut bertanggungjawab atas pilihan Bu Odah?
Aku tak sanggup lagi berkata-kata. Dadaku terasa sempit, hingga tak mampu menampung segala sesal yang datang berimpitan.