Kamis, 31 Maret 2011

Manusia Sok Tahu

Masih terekam jelas dalam memoriku, betapa paniknya aku hari itu. 10 Maret 2011, aku dan kedua teman satu tim dalam penelitian mendaftar untuk ujian skripsi, setelah hampir sebulan kami di-ACC oleh pembimbing (kalo ada yang nanya kenapa baru daftar, baca aja postingan yang lalu). Dengan detak jantung lebih cepat dari biasanya, aku menemui dosen pengelola skripsi prodi Kimia. Dalam hati berdoa, semoga dapat penguji yang terbaik. Meski begitu, aku mencoba untuk siap jika terjadi kemungkinan terburuk, mengingat salah satu dosen killer di prodi dan paling ditakuti mahasiswa juga hadir dalam seminar skripsiku.
“Permisi, Pak,” sapaku di depan pintu ruangan.
“Ya, masuk,” jawab si bapak.
“Pak, saya mau daftar ujian”, ucapku setelah duduk di kursi yang disediakan.
“Sudah lengkap semua persyaratan ujiannya?”, tanya beliau.
“Sudah, Pak,” jawabku mantap sambil menunjukkan map bergambar Winnie the Pooh *nggak penting disebutin kali* berisi berkas-berkas persyaratan ujian.
“Siapa saja dosen yang hadir waktu seminar?” pertanyaan yang sebenarnya nggak perlu ditanyakan mengingat sang dosen pengelola punya berita acara seminar saya.
“Selain pembimbing dan penguji, ada Pak ****,” jawabku ragu, satu dosen lagi sengaja tak kusebutkan.
“Ya sudah, penguji tiganya Pak **** saja,” kata si Bapak sambil menuliskan nama Pak **** di buku catatannya. “Mana surat permohonan pengoreksian skripsi untuk pengujinya?”, lanjutnya.
“Oh, iya pak.. ketinggalan di luar. Sebentar, Pak,” jawabku, lalu keluar untuk mengambil surat yang dimaksud.
Betapa terkejutnya aku ketika masuk kembali, sang dosen pengelola skripsi telah mencoret nama Pak **** dan menggantinya dengan nama dosen yang sengaja tak kusebutkan tadi, dan berkata,
“Kamu pengujinya Pak ****** saja, ya. Nggak pa-pa kok, bapaknya kan baik.” (panic)
Dan langsung saja aku berpraksangka, mungkin si bapak pengelola skripsi baru menyadari penampilanku. Ya, yang kutahu, si bapak tidak menyukai orang-orang ‘sepertiku’. Orang-orang yang suka demo, yang suka ikut campur urusan pejabat kampus. (okok)
Akhirnya, dengan langkah gontai aku keluar dari ruangan. Ekspresi kesedihan mengiringi langkahku menghampiri teman-teman yang menunggu di luar. Dan mereka sudah bisa menebak apa yang terjadi.
Hari itu mendung bergayut di hatiku. BĂȘte, pusing, kesal, bingung, takut, semuanya jadi satu. Ditambah lagi kata-kata hiperbola dari dosen pembimbingku waktu aku memberitahu hal ini kepada beliau. *habislah kamu* katanya waktu itu (cry). Apalagi aku tahu, bahwa Pak ****** itu memiliki hubungan yang tidak baik dengan pembimbing satuku. Bahkan mahasiswa bimbingan Pak ****** pernah dibantai habis oleh pembimbingku ketika ujian.
Tapi ada sedikit kekuatan yang kudapat dari pembimbing duaku yang sudah kuanggap ayahku sendiri. Dengan bijaksana dan kebapakkan beliau memberiku semangat. Serta meyakinkanku semua akan baik-baik saja. Beliau juga yang mengingatkanku untuk berdoa, karena apapun bisa terjadi dengan kehendak-Nya. Beda sekali dengan pembimbing satuku yang terus menakut-nakuti setiap kami bertemu.
Hari terus berlalu, panjang sekali kalau kutulis semua di sini. Tibalah saat ujianku. Jadwal ujianku jam 09.00. Tapi jam 08.00 aku dan teman yang juga ujian hari itu dipanggil pembimbing, dan dimarahi dengan kata-kata yang seharusnya tidak perlu diucapkan, apalagi di detik-detik menjelang kami ujian. Lima belas menit menjelang ujian, baru aku bisa mempersiapkan diri. Saat itu aku sibuk menenangkan perasaan yang sesak akibat kata-kata si pembimbing. Apapun itu, jangan sampai mempengaruhi performance-ku nanti. (rock)
Bismillah.. dengan percaya diri kupresentasikan hasil penelitianku. Hingga akhirnya selesai dan satu-persatu dosen penguji memberi pertanyaan. Tanpa kuduga, jawaban begitu saja keluar dari lisanku. Dan para penguji bisa menerima semua jawabanku, meski ada beberapa perbaikan yang harus kulakukan. Penguji tiga yang aku khawatirkan akan mempersulit mengingat hubungannya yang tidak baik dengan pembimbingku sama sekali tidak menunjukkan sikap tak bersahabat, apalagi balas dendam. Sebaliknya beliau begitu ramah dan professional.
Setelah tanya jawab selesai, aku dipersilakan keluar sementara para penguji merundingkan nilai untukku. Rasa tenang seketika menjalari hatiku. Aku sudah melakukan yang terbaik yang aku bisa, maka untuk hasilnya kuserahkan kepada Allah.
Perundingan selesai, dan aku pun dipersilakan kembali memasuki ruang siding. Detak jantungku kembali berdetak lebih cepat. Kelegaan yang luar biasa seketika kurasakan begitu pembimbing mengumumkan nilaiku. Alhamdulillah..(worship)
Setelah semua selesai, kuperhatikan lembar rekapitulasi nilaiku yang telah diisi oleh semua dosen penguji. Dan ternyata Pak ****** sang penguji tiga yang dulu aku takuti memberikan nilai yang cukup tinggi. Subhanallah.. selama ini aku sudah bersu’udzan dengan beliau. Bersu’udzan dengan Allah. Bahkan aku dan teman-teman pernah berprasangka kalau dosen pengelola skripsi dan Pak ****** telah bersekongkol untuk menjatuhkan aku dan dosen pembimbingku. Masyaallah.. (doh)
Begitulah sok tahu-nya aku. Padahal dengan sepenuh hati aku selalu berdoa agar Allah memberikan yang terbaik dalam setiap langkahku. Tapi kenapa aku berprasangka buruk ketika Allah telah memberikan yang terbaik bagiku. Benar-benar manusia sok tahu (taser).
“… Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 216).
Rasanya ayat ini sudah jelas. Dan Allah telah memberi apa yang kupinta, yang terbaik. Ya Allah, ampuni aku. Ampuni dosaku yang menggunung tinggi dengan rahmat-Mu yang melangit luas..(worship)

*nb: Pak **** yang hampir saja menjadi dosen penguji tigaku malah marah-marah pada hari ujian karena sesuatu hal yang tidak perlu disebutkan di sini. nggak kebayang kalau beliau yang jadi pengujiku*

Sabtu, 26 Maret 2011

Astaghfirullah..

Abis baca sebuah blog tentang tanda2 kematian. astaghfirullah.. ya Allah, begitu lama aku terlalu disibukkan oleh urusan dunia (tears). begitu sungguh2 aku merencanakan masa depanku di dunia. hingga aku lupa, aku terlena. bekal apa yang akan kubawa ketika masa itu tiba (tears). ya Allah.. ampuni hamba..

Kabulkanlah, ya Allah..

Empat hari lagi, ya Allah... Jantungku udah terasa berdetak lebih cepat. Apa yang bakal terjadi empat hari lagi? Semuanya masih jadi misteri. Tapi aku mencoba berpositif thinking, aku akan bisa melaluinya dengan baik. Meski pembimbing dan pengujiku berselisih, semoga mereka bisa profesional..

Ya Allah, ini baru ujian di kampus. Masih banyak ujian-ujian lain yang mungkin lebih berat. Aku nggak pengen ciut nyali. Aku pengen jadi Nia yang mentalnya baja, bukan mental tempe.

Ya Allah, para penguji itu makhlukMu. Engkaulah yang menggenggam hati mereka. Engkau jua yang menguasai jiwa mereka. Lembutkanlah hati mereka untukku, ya Allah..Ya Allah, Engkau pula yang menggenggam hati ini. Maka tenangkanlah, ya Allah..

Ya Allah, apa yang terjadi di ruang sidang itu semua atas kehendakMu. Berikanlah yang terbaik, ya Allah.. Berikanlah kemudahan padaku untuk melaluinya.. 


Aamiin Allahumma Amiin...

subhanallah...


Kerinci, walaupun baru satu kali ke sana dan dalam momen yang nggak menyenangkan (baca: KKN), tapi beneran deh.. sekarang tempat inilah yang sangat kurindukan. Apalagi kalau lagi gelisah gini, ugh.. rasanya pengen ngelepasin semua beban di birunya danau, di hijaunya sawah, di sejuknya gunung, di gelapnya hutan..*apasih*

Hmm.. beneran rindu menghirup udara segar Bumi Sakti Alam Kerinci.. Rindu jeprat-jepret pemandangannya.. Rindu keramahan warganya..:(




uuaaaaaaaaaargh...!