Jumat, 21 Juni 2013

Episode Rindu



Tiba-tiba aku ingin masak tumis labu dan tempe goreng, menu sarapan favorit papa yang hampir tiap hari aku buatkan. Masakan yang membuat aku menyesal, andai saja aku belajar masak lebih awal, aku bisa membuatkan papa menu sarapan yang beragam.  Meski papa sering memuji tempe goreng buatanku yang menurutnya enak dan gurih, juga tumis labu yang setiap pagi tak pernah bosan papa memakannya. Mungkin karena aku membuatnya dengan cinta..

Mengingat papa selalu membuatku tak kuasa menahan air mata. Papa yang begitu baik, lembut,  dan bijaksana. Papa yang paling bisa mengerti diriku, sifatku, bahkan apa yang terjadi padaku meski aku tak menceritakannya. Papa yang begitu perhatian, penuh kasih sayang. Papa yang selalu memberikan inspirasi melalui cerita dan nasihatnya. Papa juga tak segan memuji dan mengekspresikan rasa bangganya dengan kecupan di kening, atau belaian di kepalaku. Papa yang selalu membuatku bangga sebagai anaknya. Bahkan setelah papa lama tiada, aku selalu merasakan buah kebaikannya, dari orang-orang di sekelilingnya, dari orang-orang yang pernah berinteraksi dengannya.
Papaku sebenarnya lelaki biasa. Tidak dilahirkan dari keluarga terpandang dan kaya. Kegigihan dan kerja kerasnya yang membuatnya menjadi luar biasa. Papa adalah doctor pertama di desanya, yang hingga kini masih miskin sarjana. Dalam sakitnya, papa masih memberikan manfaat bagi lingkungannya, bagi profesinya, bagi agamanya. Papaku juga lelaki sholeh. Papa aktivis dakwah di kampusnya dulu. Papa selalu shalat berjamaah di masjid. Bahkan dalam sakit yang mengharuskannya cuci darah 2 kali seminggu, yang mengharuskannya mengurangi aktivitas, papa tidak meninggalkan shalat berjamaah di masjid. Setiap subuh, mama mengantarkan papa sampai pagar rumah kami, mengawasi papa yang berjalan perlahan, beristirahat sejenak karena lelah, hingga akhirnya sampai di masjid yang sebenarnya jaraknya tak sampai 50 meter. Papa ketua DKM dan imam di masjid kompleks kami. Bahkan iedul adha terakhir dalam hidupnya, papa masih menjadi khatib, meski kami keluarganya deg-degan melihat beliau berdiri dengan wajah pucat.
Papa juga sangat cinta ilmu. Begitu banyak buku yang diwariskannya kepadaku. Bahkan banyak yang dihibahkan ke perpustakaan kampus tempat beliau mengabdikan ilmu. Papa juga tak pernah berpikir dua kali untuk mengeluarkan uang ketika membeli buku. Tempat yang sering kami kunjungi juga took dan pameran buku. Kalau papa pulang dari luar kota, papa membawakanku oleh-oleh buku. Yang paling istimewa bagiku, satu paket buku seri karakteristik shahabat Rasulullah saw, yang isinya ada 15 buku. Ya, aku yang cinta buku, ini hasil didikan papa sejak aku kecil.

Untuk banyak hal, kami memiliki kesamaan. Orang-orang di sekitar kami pun berkata demikian. Dari segi sifat, hobi, juga fisik. Yang paling menonjol adalah hidungku yang persis papa, membuat aku jadi yang paling mancung di antara saudara-saudaraku. Meski banyak yang menyama-nyamakan kami, bagiku papa jauh lebih baik. Banyak hal yang perlu kuperbaiki agar aku benar-benar pantas dibilang mirip dengannya. Kesabaran, ketenangan dalam menghadapi apapun, kebijaksanaan, kemandirian, ketegasan, dan banyak hal lain yang perlu kupelajari dari papa. Bagiku papa sosok yang istimewa, yang membuat aku pun merasa istimewa terlahir sebagai anaknya, merasa istimewa karena selama 18 tahun membersamainya.
Papa, maafkan aku yang mungkin pernah mengecewakanmu, maafkan aku yang belum mampu membuatmu bangga, maafkan aku yang belum berbakti kepadamu, maafkan aku yang cuek, tidak perhatian, sibuk dengan urusanku sendiri. Maafkan aku karena aku baru menyadari semua setelah engkau pergi..

Terasa tersisih, sendiri di pinggir sana
Kau tiada lagi di sisiku, bicara menyalakan api
Ketika kau di sampingku, tuturmu kuanggap bisu
Tingkahmu untukku, sumbang bagi diriku
Harapanmu padaku, tidak kuindahkan

Nasihatmu madu penyembuh luka
Pabila bersamamu hilang dukaku
Lewat kusadari nilai cintamu
Pabila kau tiada lagi di sisiku
Belaianmu kini masih terasa
Restu darimu membawaku ke surga

Andai dapat ku kembali, mengubah yang terjadi
Pasti takkan kuulangi, walau hanya sekali
Namun hanya do’a yang bisa kukirimkan
(Sendiri, Saujana)