Kamis, 21 Februari 2013

Tanya yang Telah Terjawab



Hari ini, untuk kesekian kalinya dosen pembimbingku mengatakan hal itu.
“Kalau saja kamu ikutin saran saya kemarin, Nia. Saya sudah punya proyek untuk kamu. Setelah lulus kamu bisa langsung jadi dosen di sini,” kira-kira begitu kalimat dosen pembimbing satuku yang baru saja diangkat sebagai dekan di fakultas Sains dan Teknologi kampusku.

Sudah berkali-kali pula aku jelaskan alasanku tidak mengikuti sarannya, atau lebih tepatnya, tidak jadi mengikuti apa yang direkomendasikannya. Hampir setahun yang lalu. Dosenku itu merekomendasikanku untuk melanjutkan kuliah S2 dengan Beasiswa Unggulan Dikti. Tentu saja waktu itu aku menanggapi dengan antusias, meski berpikir, mungkinkah mama mengizinkan, mengingat universitas penyelenggara Beasiswa Unggulan Dikti hanya ada di Pulau Jawa, Bali, dan di Makassar yang artinya aku harus merantau.
Hari itu juga aku membicarakannya dengan mama. Tak kusangka, mama setuju. Aku sampai shock mendengarnya, karena sejak S1 aku sudah punya pengalaman tentang ‘rantau-merantau’ dengan mama. Mamaku tidak sama dengan orang tua pada umumnya. Mamaku bisa dibilang over protective, memiliki kecemasan tingkat tinggi. Tapi kali ini, mama setuju. Ini sebuah keajaiban bagiku, pikirku waktu itu.
Singkat cerita aku memilih salah satu universitas negeri di Kota Kembang. Pertimbanganku waktu itu adalah karena aku pernah cukup lama tinggal di sana ketika papaku S3, dan di sana juga ada sanak saudara, dan cukup dekat dengan nenek serta keluarga besarku. Aku pergi untuk mengikuti tes, pun diantar mama. Satu-satunya peserta tes dari kampusku yang berjumlah 8 orang, yang diantar oleh orang tuanya. Tapi itulah cara mama menunjukkan sayangnya padaku, selain sekalian pulang kota juga.
Singkat cerita lagi,pengumuman kelulusan pun tiba. Dari 8 orang peserta asal kampusku, hanya 3 orang yang lulus, dan itu termasuk aku! Padahal waktu tes aku cukup jiper. Karena peserta tesnya banyak sekali, dan yang diterima hanya sekitar 16% saja. Sebuah kesempatan yang luar biasa aku bisa termasuk ke dalam 16% calon mahasiswa yang beruntung itu. Dan yang lebih mengejutkan lagi, aku lulus dengan beasiswa Unggulan Dikti. Yang artinya, setelah lulus, aku akan diberdayakan sebagai dosen.
Sayangnya, jarak antara pengumuman kelulusan dengan batas akhir registrasi ulang terlalu jauh, menurutku. Dalam waktu yang hampir 3 minggu itu, mama kembali berpikir tentang keputusannya mengizinkanku merantau, meski hanya 2 tahun. Setelah melobi dan merayu dengan berbagai cara, keputusan mama untuk akhirnya tidak mengizinkanku, tidak bisa diubah lagi. Berhari-hari mama murung, karena aku masih berkeras untuk tetap pergi. 
Aku selalu berdoa meminta yang terbaik kepada Allah, karena hanya Dia yang tahu apa yang terbaik bagiku. Aku berdoa, jika memang yang terbaik bagiku ke Kota Kembang, aku minta agar Allah melapangkan hati mama untuk mengizinkanku. Tapi kalau yang terbaik bagiku tetap tinggal di sini dan melanjutkan kuliahku yang sudah masuk semester 2 di sini, aku minta agar Allah melapangkan hatiku untuk menerima keputusan mama. Dan hingga hari-hari terakhir menjelang batas akhir registrasi ulang, mama tak juga mengizinkan, tapi malah hatiku yang seolah melembut. Aku tidak bisa terus-terusan melihat mama murung. Aku membayangkan mama yang terus memikirkan satu anaknya yang merantau jika aku tetap pergi. Bagaimana jika mama sakit, dan segala macam perasaan yang membuatku ingin tetap bertahan di sini. Baiklah, aku pikir ini jawaban Allah atas doa-doaku.
Kali ini, untuk kesekian kalinya, dosen pembimbingku mengatakan hal yang sama dengan yang hampir selalu beliau katakan ketika bimbingan. Yang aku bahkan tak bisa mengingat berapa kali beliau mengatakan hal ini.
Dan kali ini, aku hanya menjawabnya dengan senyuman. Karena rasanya jawabanku tempo hari sudah cukup menjelaskan. Bukan inginku untuk menyia-nyiakan kesempatan. Semua orang menyayangkan mengapa aku mundur setelah lulus. Semua teman yang tahu tentang ini, bahkan dosen yang lain juga begitu.Tapi memang kondisiku yang tentu tak sama dengan orang lain pada umumnya.
“Tapi ya, sudahlah. Rezeki kan Allah yang ngatur,” begitu lanjutan kalimat dosen pembimbingku.
Ya, saya membenarkan dalam hati. Semuanya memang Allah yang mengatur. Rezeki, pekerjaan yang menjadi perantara rezeki-Nya untukku, juga Dia yang mengatur. Aku punya Allah tempatku berharap. Berharap untuk bisa memenuhi harapan orang tuaku yang tinggal satu-satunya ini. Harapan untuk menjadi dosen, seperti papa. Bukan sesuatu yang mustahil untuk menjadi dosen meski “hanya” lulusan universitas di kota kecil ini, bukan?

Intinya, keputusan ini aku ambil sebagai bagian dari baktiku kepada mama. Banyak yang telah beliau berikan padaku. Apa mungkin bagiku untuk menolak permintaannya untuk tetap di sini, bersamanya? Jawabannya tidak. Ini bagian dari birul walidain. Aku yakin, Allah punya rencana lain. Semoga Allah menggantikan semua ini dengan yang lebih baik. Wallahu a’lam.

Kamis, 14 Februari 2013

Teruntuk Sahabatku

Sahabatku nun jauh di sana....
Lupa kah engkau tentang kisah kita? Tentang masa-masa indah kita.

Sahabatku nun jauh di sana....
Mungkin aku perlu mengingatkanmu tentang masa itu. Ketika engkau dan aku masih bersama meniti ilmu, di sekolah kita dulu. Setiap hari kau dan sahabat-sahabat kita datang ke kelasku, menjemputku. Lalu kita bersama-sama ke mushala, mendirikan shalat dhuha bersama. Begitu setiap hari kita habiskan waktu istirahat pertama.

Sahabatku nun jauh di sana....
Mungkin aku juga perlu mengingatkanmu. Ketika setiap sabtu kita berkumpul melingkar. Bahkan engkau yang mengajakku bergabung ke lingkaranmu. Aku masih ingat betapa semangatnya kita. Waktu yang satu hari dalam seminggu terasa kurang, kita ingin melingkar setiap hari, hingga membuat kakak pembimbing kita bingung menjelaskan.

Sahabatky nun jauh di sana....
Aku jg masih ingat, kakak pembimbing kita pernah berkata, bahwa perubahanmu ke arah perbaikan terlalu cepat daripada yang beliau duga. Dan itu membuat beliau terlihat begitu bangga padamu. Aku juga senang atas pencapaianmu itu. Kau sungguh jauh berbeda dari yang pertama kali kukenal. Bahkan, kau dan sahabat kita yang lain membuatku semangat untuk terus mengejar ketertinggalan hapalan, untuk melawan kemalasan.

Sahabatku nun jauh di sana....
Kau juga yang mengajariku untuk percaya pada diri sendiri, untuk percaya pada potensi diri. Ingatkah kau kelompok pertama yang kita bimbing? Saat itu aku takut, pesimis. Tapi kau membuatku bisa melewatinya. Kau juga membuatku bisa lebih terbuka, kau membuatku mampu berbagi. Kau telah membuat hari-hariku lebih berwarna.

Sahabatku nun jauh di sana....
Menyadari perubahanmu kini, perubahan kita, membuatku merasa begitu bersalah. Aku tahu, mungkin aku tak pernah ada kala kau membutuhkanku. Tidak seperti engkau yang selalu ada untukku. Aku terlalu sibuk dengan urusanku. Hingga jarak kita semakin jauh.

Sahabatku nun jauh di sana....
Aku rindu dengan hari-hari kita dulu. Aku rindu kebersamaan kita. Aku rindu dengan sosokmu yang dulu.

Sahabatku nun jauh di sana....
Aku tahu, aku tak lebih baik darimu. Tapi satu pesanku, siapa sahabat kita, mencerminkan diri kita. Jangan pernah menjauh dari orang-orang shalih jika kita ingin menjadi shalih.

Sahabatku nun jauh di sana....
Aku ingin engkau tahu. Aku ingin engkau ingat selalu. Bahwa aku mencintaimu karena Allah... Ana uhibbuki fillah. Ucapan yang sama dengan yg kita ucapkan dulu :))

Jum'at, 15 Februari 2013
12.51

Selasa, 12 Februari 2013

BUKU CATATAN LAMA

Mendengar adzan dzuhur tadi, sengaja saya telungkupkan kepala ke tangan sambil memejamkan mata, maksud hati mau menghayati. Tanpa sengaja malah terbawa ke alam mimpi. Belum tidur beneran sih, bahasa kerennya “ngeliyep”. Tidak lama, saya perkirakan hanya sekitar 2 menit, karena ketika sadar, adzan baru saja selesai. *Tapi sempat-sempatnya mimpi (doh)*. Entahlah, mimpi yang sebentar ini malah jadi inspirasi untuk nulis lagi..

Mimpi tadi berlatar di rumah guru tercinta saya, guru spiritual, alias murabbiyah saya. Tapi bukan murabiyyah yang sekarang. Dalam mimpi itu ceritanya saya dan teman-teman liqo ketika SMA sedang liqo. Sepertinya dalam mimpi itu juga ceritanya kita masih SMA. Karena durasinya sangat singkat, hanya satu kalimat dalam mimpi tadi yang saya ingat, “karena sudah adzan, kita pending dulu liqonya,” kira-kira begitu kata salah seorang yang mungkin ceritanya moderator, yang bahkan saya juga lupa siapa orangnya. Setelah itu saya langsung terbangun.

Segera saja setelah terbangun saya kirimkan pesan singkat ke teman-teman yang ada dalam mimpi, tapi sampai tulisan ini saya buat, belum ada yang membalas L Hm, apa mungkin karena kemarin saya baru saja baca-baca buku catatan liqo yang lama, jadi terbawa mimpi. Baca-baca materi-materi dan catatan curhat teman-teman, membuat saya kangeeen berat dengan masa-masa itu, dengan para anggota kelompok liqo kala itu. 

Mungkin, bagi setiap orang yang pernah liqo, kelompok liqo pertama adalah yang paling berkesan dan tak terlupakan, pun bagi saya. Meskipun kelompok liqo kedua, ketiga, dan seterusnya bukan berarti tidak berkesan. Tapi bagaimanapun, di kelompok pertamalah saya mengenal yang namanya ukhuwah Islamiyah, di kelompok itulah saya menemukan hidayah. 

Kalau saya bandingkan buku catatan liqo lama dengan buku catatan liqo setelah-setelahnya, betapa buku catatan liqo pertama itu begitu berwarna. Dari materi, kultum, bahkan curhat-curhat persertanya saya catat dengan rapi. Segala yang ada di dalamnya seolah memutar kembali rekaman tiap-tiap pertemuan. Di rumah EmEr, di mushala sekolah, di rumah teman-teman, di kamarku, di bawah pohon mangga halaman rumahku (yang sekarang sudah ditebang), di Al-Fath, di Danau Sipin, di Bajubang beberapa pekan sebelum perpisahan, di candi ketika perpisahan, semuanya terbayang kembali. Saya juga masih ingat ketika kami, saya dan teman-teman minta kepada EmEr untuk liqo setiap hari (LOL). Betapa saat-saat liqo itu sangat kami rindukan.

Sampai sekarang, di kelompok keenam perjalanan tarbiyah saya, saya belum menemukan kelompok sesolid kelompok kami dulu. Belum pernah merindukan pertemuan pekanan seperti rindunya menunggu jadwal liqo dulu. Mungkin perlu dipertanyakan, rindu liqo dulu itu, rindu sama teman-teman atau rindu menuntut ilmunya?? Jawabannya tentu keduanya.

Mungkin saya perlu menyiasati agar liqo sekarang dan yang selanjutnya bisa terasa semanis kelompok pertama. Mungkin saya perlu memperkuat ukhuwah Islamiyah di antara kami. Mungkin saya perlu rajin-rajin bersilaturrahim dengan mereka. Mungkin saya perlu lebih khusyu lagi menghadirkan wajah mereka di tiap doa. Mungkin saya perlu lebih membuka hati. Mungkin saya perlu sering-sering mengucapkan “ana uhibbuki fillah” seperti yang saya dan teman-teman dulu sering ucapkan. Atau mungkin, saya perlu menuliskan setiap kejadian di buku catatan, sebagaimana yang saya tuliskan di buku catatan liqo yang lama…? Semoga saya bisa segera merasakan rasa itu lagi, rasa yang sama seperti yang terekam dalam buku catan liqo lama saya.



12 Februari 2013 13.25