Senin, 22 Desember 2008

Cinta Buat Mama

“Ya, pulang yuk…” ajak Syifa sambil mengenakan tas ranselnya. Mereka baru saja mengikuti rapat pembentukan panitia untuk acara Rohis.
“Males ah…” jawabku.
“Kok males? Kenapa sih akhir-akhir ini kamu jadi nggak betah di rumah?” tanya Syifa heran.
“Ya jelas aja males pulang. Kamu tau sendiri kan, di rumah sekarang ada pengacau,” jawabku kesal.
“Maksud kamu?”
“Iya, pengacau. Siapa lagi kalo bukan istri baru papa.”
“Hussh, ibu sendiri kok dibilang pengacau,” Syifa mengingatkan.
“Ibu siapa? Dia bukan ibuku kok. Nggak ada yang bisa gantiin posisi mama di hatiku. Aku nggak bakal nganggep dia ibuku, karena dia emang pengacau. Dia udah ngerebut papa dari mama, dan bentar lagi dia akan ngerebut papa dariku,” jawabku semakin kesal. Mataku mulai berkaca-kaca. “Kalo aja mama nggak cepet-cepet ninggalin aku…” lanjutnya.
“Ssst… istighfar. Nggak boleh berandai-andai, itu berarti kamu belum bisa nerima ketentuan Allah. Jangan kasih kesempatan setan untuk mengotori hatimu. Ntar lama-lama juga kamu bisa nerima dia sebagai mama barumu. Udah, pulang yuk, ntar papamu khawatir lagi.” Ajak Syifa lagi, kali ini tangannya menarik tanganku, mau tidak mau, aku mengikuti langkahnya.
***

“Naya mau Mama bikinin pudding? Kata papa, Naya paling suka pudding ya?” tanya mama ramah.
“Nggak!” jawabku ketus sambil berjalan menuju kamar. Huh, sebel. Sok baik, pasti mau cari perhatianku aja. Ntar, lama-lama juga jahat, kayak ibu tiri yang lain. Coba mama masih ada, hari-hariku nggak bakal dilewatin dengan bete gini. Mama, Naya kangen…kalau ingat mama, aku tak bisa menahan air mata ini untuk tidak menetes.
Sebelum mama meninggal, aku merasa menjadi anak paling bahagia di dunia. Gimana nggak? Aku punya dua orang tua yang sangat menyayangiku. Semua yang aku inginkan selalu mereka berikan, asalkan itu baik untukku. Tapi itu dulu. Tiga bulan setelah kepergian mama, papa meminta pendapatku tentang rencana pernikahannya dengan tante Wina, teman lama papa. Aku jelas tidak setuju. Mana mungkin aku mendukung papa untuk mengkhianati mama. Papa bilang, ini untuk kebaikanku juga. Kebaikan apanya? Toh, untuk mengurus rumah ini, ada Bi Tina. Sebelnya, biarpun aku nggak setuju, papa tetap melaksanakan rencananya itu. Kalo gitu, ngapain minta pendapatku segala?
***

“Assalamu’alaikum,” ucapku sambil membuka pintu. Tanpa ba-bi-bu, aku langsung berjalan menuju kamar.
“Kok langsung masuk aja sih, Sayang?” tanya papa membuatku terkejut.
“Eh, ada Papa, Naya nggak liat sih,” jawabku sambil membalikkan badan, lalu mencium tangan papa.
“Lho, kok nggak salim sama mama?” tanya papa lagi ketika melihatku hendak berbalik menuju kamar. Dengan enggan, kucium juga tangan tante Wina.
Setelah shalat dzuhur dan ganti baju, aku keluar. Di luar, tante Wina sedang menonton TV sendiri. Dia tersenyum ketika melihatku berjalan ke arahnya.
“Papa mana?” tanyaku kasar.
“Di kamar. Naya belum makan, kan? Mama ambilin ya. Hari ini mama masakin special masakan kesukaan Naya. Mama tau dari papa, kalo Naya suka banget sama semur ayam,” kata mama. Tanpa menjawab, aku langsung berjalan menuju kamar papa.
“Pa, boleh kan Naya ikut acara Rohis Besok? Acaranya di Cibubur, nginep tiga hari. Boleh ya, Pa…?” tanyaku. Papa mengizinkan, meski dengan sederetan nasihat panjang lebar.
***

“Naya pergi ya, Pa…” kataku sambil mencium tangan Papa. Karena ada Papa, dengan terpaksa kucium juga tangan tante Wina.
“Hati-hati, Sayang. Kalo ada apa-apa segera hubungi Papa,” jawab Papa. Dengan melambaikan tangan, aku melangkah menuju mobil Syifa. Ia sengaja menjemputku untuk bersama-sama menuju lokasi perkemahan. Karena seksi acara, kami harus tiba di lokasi lebih awal.
Selain karena Syifa yang biasa mengendarai mobil dengan kecepatan di atas 80 km/jam, jalanan pagi-pagi begini belum macet, sehingga tidak sampai lima belas menit, kami sampai. Kami langsung melaksanakan tugas masing-masing.
Hhh, lelah sekali rasanya. Sejak pagi tadi, baru kali ini aku bisa meluruskan pinggangku. Peserta dan panitia lain sedang menunaikan shalat maghrib di lapangan. Karena aku sedang “istirahat”, jadi bisa tiduran sebentar di tenda. Tapi tidak lama, karena Lidya meminta bantuanku untuk menyiapkan acara selanjutnya.
Acara malam ini berlangsung lancar, begitupun keesokan harinya. Semua panitia melaksanakan tugas sesuai kewajibannya. Peserta pun menikmati acara demi acara dengan tertib. Rencananya malam terakhir ini akan diadakan muhasabah. Maka dari itu, jam sepuluh malam peserta sudah diizinkan tidur. Setelah briefing sebentar, panitiapun diberi waktu dua jam untuk istirahat.
Sejak sore tadi aku merasa tidak enak badan, mungkin karena energiku terporsir selama acara berlangsung. Syifa memperhatikan tanganku yang bergetar ketika membuka tenda.
“Ya, kamu nggak pa-pa? Kok gemeteran gitu?” tanyanya.
“Nggak pa-pa kok, paling cuma kecapean doank,” jawabku. Syifa meraba keningku.
“Nggak pa-pa gimana? Badanmu panas banget. Kok nggak bilang sih, kalo sakit. Harusnya tadi kamu istirahat aja,” katanya lagi.
“Bener kok, nggak pa-pa. tidur bentar juga baikan lagi,” jawabku sambil membaringkan tubuh.
Setengah jam sudah berlalu, tapi mataku tidak juga terpejam. Teman-teman sudah tidur sejak tadi. Kepalaku terasa pusing sekali. Tulang-tulangku seolah remuk. Badanku bergetar hebat. Meskipun menggunakan sleeping bed, tapi dinginnya malam tetap kurasakan. Kuputuskan untuk membangunkan Syifa. Tidak seperti biasa yang sulit jika dibangunkan, kali ini Syifa langsung bangun.
“Ya Allah, pucat banget kamu. Panas banget lagi. Bentar ya, aku ambilin air dulu,” katanya. Tidak lama, ia kembali membawa air, lalu mengompres keningku. Dengan terpaksa, malam ini kami tidak ikut muhasabah.
Seharusnya pagi ini kami mengisi acara mentoring kelompok, tapi karena kondisiku tak memungkinkan, Syifa mengantarku ke dokter, setelah menghubungi papa. Dokter mengatakan aku terkena tyfus, sehingga  harus opname.
***

Selama tiga hari ini, tante Wina tak pernah lelah menemaniku ketika papa ke kantor. Ia selalu sabar membujukku untuk makan dan minum obat. Diam-diam, aku menyesal telah memperlakukannya dengan tidak baik. Ternyata tante Wina sangat baik kepadaku, tidak seperti ibu tiri dalam dongeng Cinderella. Juga tidak seperti ibu tiri dalam cerita rakyat Bawang Merah dan Bawang Putih. Aku benar-benar menyesal. Ya Allah, ampuni aku…
“Tante, Naya mau minta maaf. Selama ini Naya selalu bersikap dingin dan tidak menghormati Tante. Padahal Tante begitu baik. Maafin Naya, ya…” kataku ketika tante Wina baru datang setelah menebus obat.
“Tante ngerti kok perasaan Naya. Tante udah maafin dari dulu-dulu. Dan Tante juga yakin, suatu saat Naya bisa nerima Tante sebagai ibu,” jawab tante Wina sambil tersenyum.
“Makasih, Tante. Emmh, Tante, boleh nggak kalo mulai sekarang Naya panggil Tante Mama?” tanyaku dengan mata berkaca.
“Itu yang Tante inginkan, Sayang,” jawabnya. Kami berpelukan dengan berlinang air mata keharuan.
***

Sudah dua minggu aku diperbolehkan sekolah lagi, setelah sepuluh hari beristirahat. Tapi sementara ini aku harus mengurangi kesibukanku. Hari ini, aku mengajak Syifa untuk membeli kado bersama sepulang sekolah. Aku ingin memberikan kado special untuk mama baruku di Hari Ibu ini. Setelah kado dibungkus, kami pulang.
“Assalamu’alaikum…”
“Alaikumsalam…” jawab tante Wina yang tengah menyusun rangkaian bunga. Ternyata tante Wina memiliki hobi yang sama dengan mama.
“Selamat Hari Ibu, Ma…” kataku seraya mengeluarkan kado dari dalam tas.
“Makasih, Sayang…” kata tante Wina sambil memelukku. Matanya berkaca-kaca. Hari ini, aku merasa menjadi orang yang paling bahagia di dunia.