Kamis, 30 Desember 2010

Celah


“Nah, adek-adek, ada yang mau ditanyain?” Kutatap satu persatu adik mentoringku.
“Mm, jadi make jilbab itu wajib ya, Kak? Trus, kalo nggak dibolehin sama orang tua gimana dong, dosa juga?” Tanya Melani.
“Iya. Makanya kita harus bilang sama orang tua dengan baik-baik, perlahan-lahan. Kita tunjukin dengan pake jilbab kita berubah jadi baik, tambah rajin, pokoknya pinter-pinter kita ngambil hati ortu deh. Kan yang tau ortu kita, ya kita sendiri.”
“Boleh nggak Kak, kita marah-marah sama Mama gara-gara itu?”
“Ya, jangan donk. Kan Mama ngelarang karena beliau nggak tau. Jadi kewajiban kita untuk ngasih tau, tapi baik-baik, jangan pake marah-marah. Kan minggu kemaren Kakak pernah bacain hadist tentang kewajiban anak menghormati ibu. Masih inget nggak gimana bunyinya?”
“Inget, Kak, inget. Bunyinya… eh, gimana ya? Pokoknya belakangnya ‘ibumu, ibumu, ibumu, lalu ayahmu,” jawab Gina maksa.
“Ih, maksa banget sih? Gini lagi, ‘ketika salaah seorang sahabat bertanya sama Rasulullah saw, siapa yang harus kita hormati, Rasulullah saw menjawab ibumu sampe tiga kali, lalu ayahmu,” ralat Rifka.
“Pinter… yang lain gimana, ada yang mau ditanyain?”
“Mm, udah Kak, pulang yuk…” rengek Shelly yang kukenal paling manja di antara adik-adikku.
“Ya udah deh, kalo udah pada capek, kita tutup aja mentoring untuk hari ini. Mudah-mudahan kita ketemu lagi minggu depan dalam keadaan sehat dan tidak kurang satu apapun. Yuk, siapa yang mau mimpin do’a?”
“Kakak aja deh…” sahut Filza.
***
“Assalamu’alaikum.” Ucapku sambil melangkahkan kaki di ambang pintu.
“Waalaikumsalam. Dari mana, Sayang?” Tanya Mama yang tengah duduk di ruang tamu dengan beberapa temannya. Rupanya sedang ada arisan di rumah.
“Dari kampus, Ma,” jawabku sekenanya.
“Ini putri Jeng yang pertama, yang tadi Jeng ceritakan? Cantik, ya. Saya jadi ingat dengan salah seorang istri ustadz yang sering muncul di tivi. Siapa namanya?” Tanya salah satu teman Mama.
“Tiara, Tante,” ucapku sambil tersenyum. “Ma, Tiara masuk dulu, ya,” pamitku.
Lelah sekali, tak sabar rasanya ingin kurebahkan tubuh ini. Baru beberapa menit berbaring, suara di kamar sebelah memaksaku bangun. Suara laki-laki? Di rumah ini tak ada laki-laki selain Papa yang baru pulang nanti malam. Lagipula, sejak kapan Papa mau menyempatkan diri mengunjungi kamar anak-anaknya? Otakku segera memerintahkan kaki untuk melangkah ke luar.
Tok… tok… tok…
“Fel… Felli… bukain pintunya donk…” pintaku sambil mengetuk pintu.
Cukup lama, akhirnya pintu itu terkuak sedikit. Sebentuk wajah manis adikku melongok.
“Kenapa, Kak?”
“Nggak, tadi kayaknya Kakak denger suara cowok deh. Ada temen kamu?” tanyaku to the point.
“Nggak ada kok. Kakak salah denger kali,” jawabnya salah tingkah.
“Masa sih? Orang Kakak denger jelas banget kok,kudorong pintu kamarnya dan mencoba masuk.
“Ihh, Kak Rara apa-apaan sih, masuk-masuk kamar orang. Udah ah, Felli mau tidur.”
“Kalo nggak ada siapa-siapa, kok Kakak nggak boleh masuk?” tanyaku penuh selidik.
“Kan Felli udah bilang, Felli mau tidur. Udah deh, Kak, jangan ikut campur urusan orang.” Brakk!
Hh, ngapain ya, mereka di kamar? Aku nggak boleh diam aja. Mm, lapor Mama! Ups, tapi… emang Mama peduli?
***
“Itu lagi alasannya. Tiap Mama ajak ke rumah Tante Willy, pasti rapat. Kayak anggota dewan aja. Apa sih yang kamu urusin di kampus, kok nggak selesai-selesai rapatnya? Daripada sibuk-sibuk nggak jelas gitu, mendingan kamu urusin diri sendiri. Liat tuh penampilanmu. Udah kayak Bu Haji aja. Kamu itu cantik, Ra. Kalo kamu tunjukin rambut indahmu, pasti banyak cowok yang ngejar-ngejar. Udah Mama beliin baju mahal-mahal, nggak dipake. Coba liat adikmu, Felli. Penampilannya modis, nggak kampungan gitu,” ceramah Mama panjang lebar.
“Kenapa mesti ngajak Rara? Kan Mama bisa minta temenin Felli. Rara bener-bener nggak bisa, Ma. Rara udah janji sama temen.”
“Tante Willy tuh nanyain kamu terus, Sayang. Mama sama tante Willy udah sepakat, kalo kamu akan dijodohkan sama anaknya Tante Willy.”
“Lho, Rara masih semester tiga, Ma. Belum mikirin sampe ke situ.”
“Yang  bilang kamu nikah sekarang itu siapa? Maksud Mama, kan kalian bisa kenalan dulu, pacaran. Pasti kamu nggak bakalan nolak kok, kalo udah liat orangnya.”
“Yah, tapi lain kali aja deh, Ma. Rara udah telat nih,” pintaku memelas sambil meraih tangan Mama dan mengecupnya.
***
“Trus gimana dong, Kak, masa Filza mesti mutusin dia?”
“Filza lebih cinta dia atau Allah?”
“Ya Allah dong.”
“Nah, Allah nggak mau diduain. Kita juga nggak mau dong, jadi orang munafik, yang ngakunya cinta Allah, tapi nggak peduli sama larangan-Nya?”
“Iya, ya, Kak…”
“Kak, katanya abis materi, Kakak mau kita ajak jalan-jalan. Ayo dong, Kak, ntar kesorean…” ajak Shelly.
“Ntar dulu dong, temen-temennya ada yang mau nanya lagi nggak?”
“Nggak…” serempak mereka menjawab.
“Kita makan dulu yuk, laper nih,” ajak Ririn, ketika kami sampai di pelataran sebuah mall.
“Pantesan dari tadi Ririn diem aja, laper rupanya,” godaku, Ririn tersenyum malu.
Akhirnya kami masuk ke sebuah food court dan duduk di salah satu meja. Di meja lain di hadapanku duduk sepasang remaja yang sedang (maaf) berciuman, lalu mereka tertawa. Entah apa yang lucu. Perutku mendadak mual melihatnya. Rasanya kemungkinan kecil mereka sudah menikah, karena masing-masing masih menggunakan seragam SMA. Sudah sedemikian rendahkah rasa malu remaja di negeri ini?
Setelah selesai makan, kami bangkit dari kursi masing-masing. Mataku terbelalak kaget ketika mellihat salah satu dari sepasang remaja yang kuanggap telah hilang rasa malunya itu adalah adikku sendiri. Mereka juga telah selesai dan berjalan dengan santai melewati kami.
“Felli!” refleks aku memanggilnya.
Keduanya menoleh. Sejenak kulihat tatapan kagetnya, sebelum akhirnya melangkah lagi seolah tanpa rasa bersalah.
“Siapa, Kak?” Tanya Rifka.
“A…adik Kakak,” jawabku terbata.
“Adik Kakak? Kok… tadi Mela ngeliat, mereka…” Mela memang duduk di sebelahku, mungkin dia melihat apa yang kulihat.
“Itu cowoknya? Kata Kakak, pacaran itu nggak boleh. Kok adik Kakak sendiri pacaran? Kakak munafik! Filza nggak mau percaya sama Kakak lagi!” Teriak Filza sebelum berlari ke luar.
“Iya, kita juga!” yang lain ikut berlari.
Aku hanya bisa tertunduk sedih. Dakwah keluarga memang sulit, Dik…lirihku, diiringi tatap heran orang-orang sekitar.