Tiba-tiba aku ingin masak tumis labu dan tempe goreng, menu sarapan
favorit papa yang hampir tiap hari aku buatkan. Masakan yang membuat aku
menyesal, andai saja aku belajar masak lebih awal, aku bisa membuatkan papa
menu sarapan yang beragam. Meski papa
sering memuji tempe goreng buatanku yang menurutnya enak dan gurih, juga tumis
labu yang setiap pagi tak pernah bosan papa memakannya. Mungkin karena aku
membuatnya dengan cinta..
Mengingat papa selalu membuatku tak kuasa menahan air mata. Papa yang
begitu baik, lembut, dan bijaksana. Papa
yang paling bisa mengerti diriku, sifatku, bahkan apa yang terjadi padaku meski
aku tak menceritakannya. Papa yang begitu perhatian, penuh kasih sayang. Papa
yang selalu memberikan inspirasi melalui cerita dan nasihatnya. Papa juga tak
segan memuji dan mengekspresikan rasa bangganya dengan kecupan di kening, atau
belaian di kepalaku. Papa yang selalu membuatku bangga sebagai anaknya. Bahkan
setelah papa lama tiada, aku selalu merasakan buah kebaikannya, dari
orang-orang di sekelilingnya, dari orang-orang yang pernah berinteraksi
dengannya.
Papaku sebenarnya lelaki biasa. Tidak dilahirkan dari keluarga
terpandang dan kaya. Kegigihan dan kerja kerasnya yang membuatnya menjadi luar
biasa. Papa adalah doctor pertama di desanya, yang hingga kini masih miskin
sarjana. Dalam sakitnya, papa masih memberikan manfaat bagi lingkungannya, bagi
profesinya, bagi agamanya. Papaku juga lelaki sholeh. Papa aktivis dakwah di
kampusnya dulu. Papa selalu shalat berjamaah di masjid. Bahkan dalam sakit yang
mengharuskannya cuci darah 2 kali seminggu, yang mengharuskannya mengurangi
aktivitas, papa tidak meninggalkan shalat berjamaah di masjid. Setiap subuh,
mama mengantarkan papa sampai pagar rumah kami, mengawasi papa yang berjalan
perlahan, beristirahat sejenak karena lelah, hingga akhirnya sampai di masjid
yang sebenarnya jaraknya tak sampai 50 meter. Papa ketua DKM dan imam di masjid
kompleks kami. Bahkan iedul adha terakhir dalam hidupnya, papa masih menjadi
khatib, meski kami keluarganya deg-degan melihat beliau berdiri dengan wajah
pucat.
Papa juga sangat cinta ilmu. Begitu banyak buku yang diwariskannya
kepadaku. Bahkan banyak yang dihibahkan ke perpustakaan kampus tempat beliau
mengabdikan ilmu. Papa juga tak pernah berpikir dua kali untuk mengeluarkan
uang ketika membeli buku. Tempat yang sering kami kunjungi juga took dan pameran
buku. Kalau papa pulang dari luar kota, papa membawakanku oleh-oleh buku. Yang
paling istimewa bagiku, satu paket buku seri karakteristik shahabat Rasulullah
saw, yang isinya ada 15 buku. Ya, aku yang cinta buku, ini hasil didikan papa
sejak aku kecil.

Papa, maafkan aku yang mungkin pernah mengecewakanmu, maafkan aku yang
belum mampu membuatmu bangga, maafkan aku yang belum berbakti kepadamu, maafkan
aku yang cuek, tidak perhatian, sibuk dengan urusanku sendiri. Maafkan aku
karena aku baru menyadari semua setelah engkau pergi..
Terasa tersisih,
sendiri di pinggir sana
Kau tiada lagi di
sisiku, bicara menyalakan api
Ketika kau di
sampingku, tuturmu kuanggap bisu
Tingkahmu untukku,
sumbang bagi diriku
Harapanmu padaku,
tidak kuindahkan
Nasihatmu madu
penyembuh luka
Pabila bersamamu
hilang dukaku
Lewat kusadari nilai
cintamu
Pabila kau tiada lagi
di sisiku
Belaianmu kini masih
terasa
Restu darimu membawaku
ke surga
Andai dapat ku
kembali, mengubah yang terjadi
Pasti takkan kuulangi,
walau hanya sekali
Namun hanya do’a yang
bisa kukirimkan
(Sendiri, Saujana)