Hari ini, untuk
kesekian kalinya dosen pembimbingku mengatakan hal itu.
“Kalau saja kamu
ikutin saran saya kemarin, Nia. Saya sudah punya proyek untuk kamu. Setelah
lulus kamu bisa langsung jadi dosen di sini,” kira-kira begitu kalimat dosen
pembimbing satuku yang baru saja diangkat sebagai dekan di fakultas Sains dan
Teknologi kampusku.
Sudah berkali-kali
pula aku jelaskan alasanku tidak mengikuti sarannya, atau lebih tepatnya, tidak
jadi mengikuti apa yang direkomendasikannya. Hampir setahun yang lalu. Dosenku
itu merekomendasikanku untuk melanjutkan kuliah S2 dengan Beasiswa Unggulan
Dikti. Tentu saja waktu itu aku menanggapi dengan antusias, meski berpikir,
mungkinkah mama mengizinkan, mengingat universitas penyelenggara Beasiswa
Unggulan Dikti hanya ada di Pulau Jawa, Bali, dan di Makassar yang artinya aku
harus merantau.
Hari itu juga aku
membicarakannya dengan mama. Tak kusangka, mama setuju. Aku sampai shock
mendengarnya, karena sejak S1 aku sudah punya pengalaman tentang
‘rantau-merantau’ dengan mama. Mamaku tidak sama dengan orang tua pada umumnya.
Mamaku bisa dibilang over protective, memiliki kecemasan tingkat tinggi. Tapi
kali ini, mama setuju. Ini sebuah keajaiban bagiku, pikirku waktu itu.
Singkat cerita aku
memilih salah satu universitas negeri di Kota Kembang. Pertimbanganku waktu itu
adalah karena aku pernah cukup lama tinggal di sana ketika papaku S3, dan di
sana juga ada sanak saudara, dan cukup dekat dengan nenek serta keluarga
besarku. Aku pergi untuk mengikuti tes, pun diantar mama. Satu-satunya peserta
tes dari kampusku yang berjumlah 8 orang, yang diantar oleh orang tuanya. Tapi
itulah cara mama menunjukkan sayangnya padaku, selain sekalian pulang kota
juga.
Singkat cerita
lagi,pengumuman kelulusan pun tiba. Dari 8 orang peserta asal kampusku, hanya 3
orang yang lulus, dan itu termasuk aku! Padahal waktu tes aku cukup jiper.
Karena peserta tesnya banyak sekali, dan yang diterima hanya sekitar 16% saja.
Sebuah kesempatan yang luar biasa aku bisa termasuk ke dalam 16% calon
mahasiswa yang beruntung itu. Dan yang lebih mengejutkan lagi, aku lulus dengan
beasiswa Unggulan Dikti. Yang artinya, setelah lulus, aku akan diberdayakan
sebagai dosen.
Sayangnya, jarak
antara pengumuman kelulusan dengan batas akhir registrasi ulang terlalu jauh,
menurutku. Dalam waktu yang hampir 3 minggu itu, mama kembali berpikir tentang
keputusannya mengizinkanku merantau, meski hanya 2 tahun. Setelah melobi dan
merayu dengan berbagai cara, keputusan mama untuk akhirnya tidak mengizinkanku,
tidak bisa diubah lagi. Berhari-hari mama murung, karena aku masih berkeras
untuk tetap pergi.
Aku selalu berdoa
meminta yang terbaik kepada Allah, karena hanya Dia yang tahu apa yang terbaik
bagiku. Aku berdoa, jika memang yang terbaik bagiku ke Kota Kembang, aku minta
agar Allah melapangkan hati mama untuk mengizinkanku. Tapi kalau yang terbaik
bagiku tetap tinggal di sini dan melanjutkan kuliahku yang sudah masuk semester
2 di sini, aku minta agar Allah melapangkan hatiku untuk menerima keputusan
mama. Dan hingga hari-hari terakhir menjelang batas akhir registrasi ulang,
mama tak juga mengizinkan, tapi malah hatiku yang seolah melembut. Aku tidak
bisa terus-terusan melihat mama murung. Aku membayangkan mama yang terus
memikirkan satu anaknya yang merantau jika aku tetap pergi. Bagaimana jika mama
sakit, dan segala macam perasaan yang membuatku ingin tetap bertahan di sini.
Baiklah, aku pikir ini jawaban Allah atas doa-doaku.
Kali ini, untuk
kesekian kalinya, dosen pembimbingku mengatakan hal yang sama dengan yang
hampir selalu beliau katakan ketika bimbingan. Yang aku bahkan tak bisa
mengingat berapa kali beliau mengatakan hal ini.
Dan kali ini, aku
hanya menjawabnya dengan senyuman. Karena rasanya jawabanku tempo hari sudah
cukup menjelaskan. Bukan inginku untuk menyia-nyiakan kesempatan. Semua orang
menyayangkan mengapa aku mundur setelah lulus. Semua teman yang tahu tentang
ini, bahkan dosen yang lain juga begitu.Tapi memang kondisiku yang tentu tak
sama dengan orang lain pada umumnya.
“Tapi ya, sudahlah.
Rezeki kan Allah yang ngatur,” begitu lanjutan kalimat dosen pembimbingku.
Ya, saya membenarkan
dalam hati. Semuanya memang Allah yang mengatur. Rezeki, pekerjaan yang menjadi
perantara rezeki-Nya untukku, juga Dia yang mengatur. Aku punya Allah tempatku
berharap. Berharap untuk bisa memenuhi harapan orang tuaku yang tinggal
satu-satunya ini. Harapan untuk menjadi dosen, seperti papa. Bukan sesuatu yang
mustahil untuk menjadi dosen meski “hanya” lulusan universitas di kota kecil
ini, bukan?
Intinya, keputusan ini
aku ambil sebagai bagian dari baktiku kepada mama. Banyak yang telah beliau
berikan padaku. Apa mungkin bagiku untuk menolak permintaannya untuk tetap di
sini, bersamanya? Jawabannya tidak. Ini bagian dari birul walidain. Aku yakin,
Allah punya rencana lain. Semoga Allah menggantikan semua ini dengan yang lebih
baik. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar